- Back to Home »
- Jalsah: Sebuah Catatan Penuh Kenangan
Posted by : Administrator
Thursday, April 3, 2014
Oleh: Doni Sutriana
Pada akhirnya waktu yang mempertemukan pada sebuah
pemahaman, ia tak pernah dapat kembali meski runutan kenangan dapat
melukiskan apa yang telah terjadi dalam perjalanan waktu. Bukan
kebersamaan masa kecil yang mengajarkanku, bukan pula pelajaran majelis
yang kini sering kutemui membuka khazanah pengetahuanku, namun bila
kuasa Tuhan berkehendak disisi-Nya segalanya adalah mudah.
Umurku belum cukup dalam kedewasaan untuk memahami
semua yang bapakku hendak sampaikan, ia tak mengajariku seperti halnya
seorang murid diajari gurunya untuk sekedar mendapat nilai tertentu di
kertas ujiannya, ia mengajariku hakikat yang tersembunyi akan sesuatu
khazanah yang terbuka seiring perjalanannya waktu.
Kini dan hingga kapanpun aku akan berucap terima
kasih padanya, sosoknya kini begitu lemah terbaring di tempat tidurnya.
Sudah begitu lama sakit itu menderanya, ia bersaksi kala seorang
putranya pergi tanpa berucap perpisahan ke hadirat-Nya dan ia pula
menanggung kesedihan saat seseorang yang telah menemani hidupnya begitu
lama berpulang ke sisi-Nya, adalah juga ibuku yang kepergiannya memberi
kesedihan tiada terperi. Cukuplah Allah bagi hamba-Nya adalah yang
menghibur hati kami.
Kenangan itu masih tersimpan kala roda dua bapakku
menghantar kami tiap jumat tengah hari untuk mendirikan shalat di surau
sederhana yang jaraknya begitu jauh untuk kujangkau dalam permainan
keseharian anak kecil seusiaku, mendengarkan seorang tua membacakan
lembaran-lembaran wejangan yang dihalaman depannya terpajang foto
seorang insan berparas indah, dari raut mukanya terpancar suatu
keteduhan dan kecintaan seorang ayah bagi putra-putri ruhaninya. Apa
yang dibacakan tak benar-benar kupahami kala itu.
Setahun sekali bapakku turut pula mengajak ke kota
yang sangat jauh dan membosankan dalam perjalanan yang harus ditempuh.
Satu jam tak cukup mengantarkan kami sampai tujuan. Pagi hari kami bergegas
membawa bekal pakaian cukup untuk 3 hari dan sedikit makanan untuk bekal
selama perjalanan. Jumat pagi saat sampai tujuan yang ada adalah rasa
lelah teramat sangat. Sekedar melepas lelah rebahan di lantai masjid
tingkat dua rasanya kurang untuk menunggu waktu saat orang-orang lain mulai
berdatangan dari berbagai daerah.
Kebanyakan mereka berbahasa sama dengan bahasa ibuku
sebagian laginya berbahasa daerah yang tak dapat kupahami, mereka
datang dalam kelompok kecil satu atau beberapa keluarga berkumpul di lantai yang sama.
Masjid sendiri bertingkat tiga lantai pertama berupa kantor-kantor dan
di lantai yang kami tempati pada hari biasa digunakan untuk shalat.
Tenda-tenda berdiri di samping masjid diseberang
lainnya bangunan besar berdiri megah digunakan kaum ibu-ibu, selepas
shalat jumat dan santap siang perhelatan dimulai. Selalu dengan
pembacaan ayat suci Al Quran disusul syair-syair berbahasa urdu.
Lantunan keduanya senantiasa terdengar syahdu.
Panggung kecil berdiri di depan dekorasi dengan seni
Islam senantiasa menghiasi disamping tulisan dengan tema bernafaskan
Islam, sementara kami duduk di terpal beratap tenda. Saat itu 1000-2000
orang berkumpul, ditempat itu pula shalat didirikan selama tiga hari,
terasa panas saat siang hari dan dingin meski tak sedingin di kampungku
kala shalat didirkan dini hari.
Aku duduk disamping bapakku mendengarkan
wejangan-wejangan beberapa orang yang berdiri di mimbar, pembawaan
mereka yang berbicara kebanyakan begitu berwibawa meski apa yang
disampaikan tak kupahami semua namun kenangan itu tetap membekas hingga
kini. Ada jeda antara satu sesi acara ke sesi lainnya menjadi waktu senggang, saat itulah kulihat suasana
silaturahmi begitu terasa sekedar berkenalan dan tukar cerita. Ada pula
pertemuan dengan mereka yang mungkin sudah lama tak bertemu, bercerita
tentang kenangan atau berbagi pengalaman.
Ada keakraban lebih dari sekedar keluarga meski
kulihat tidak semua terikat dalam pertalian keluarga namun suasana
kekerabatan melebihi perhubungan keluarga yang biasa kutemui di hari
fitri.
Saat makan tiba adalah yang paling menyenangkan meja
panjang berdiri beberapa. Hidangan nasi dan lauk pauk sederhana
terpajang khusus bagi kami. Panitia khusus dengan tanda tertentu di
bajunya melayani makan kami, sementara meja khusus tersusun gelas plastik
warna-warni berisi air putih panas. Hidangannya tidaklah mewah namun
nikmat terasa saat santapan itu kuhabiskan, makan ditempat duduk ataupun
di tempat kosong yang bisa untuk diduduki tidak menjadi halangan. Tidak ada kegaduhan atau
keributan semua berjajar rapi saat mengambil hidangan, semua terlayani
bagi tamu yang datang seperti kami, sementara panitia adalah tuan rumah
selalu tampak ramah saat melayani kami meski raut kelelahan selalu ada
tak dapat disembunyikan.
Itulah Jalsah yang setiap setahun sekali kuhadiri.
Bapakku senantiasa membawaku ia tak pernah bercerita apa maksud itu
semua hingga kupahmi maknanya kemudian hari.
Dua puluh ribu orang dari pelosok negeriku datang
menjadi tamu beberapa orang diantaranya datang dari luar negeri, Jalsah Salanah
tahun 2000 begitu istimewa tamu agung Imam kami tercinta datang ke
Jalsah negeri ini. Suatu keberkatan yang entah kapan lagi bisa
dirasakan, bertemu dengan sosok yang biasanya kulihat dari foto di
majalah atau lembaran edaran.
Tahun 2005 adalah terakhir kali perhelatan itu
diadakan, sekelompok orang datang berbondong-bondong dengan kedegilan.
Mereka hendak menerobos masuk membubarkan kami punya acara, sejak itu
Jalsah tidak lagi diadakan disatu tempat, tidak lagi dapat kutemui
karib-kerabat dari berbagai daerah. Dari tahun itu pula awal cerita
kegaduhan dan perdebatan baik di media maupun di lingkungan sehari-hari.
2013 peristiwa getir kembali terjadi, Jalsah kecil
yang hanya mencakup satu wilayah menjadi sorotan besar media akan
peristiwa di tengah malam menjelang dini hari di awal bulan mei. 3600
orang hadir di kaki gunung Cikurai berkumpul menghadiri Jalsah kecil,
mereka yang hadir jumlahnya kurang lebih sama saat jalsah nasional saat
usiaku masih kecil. Bagi kami itu menandakan jumlah kami selalu
meningkat tiap tahunnya, selalu ada anggota baru yang menggabungkan diri
dalam jemaat kami ditengah tekanan dan penganiayaan sekalipun.
Di malam itu saat beranjak tidur dan aku masih
terjaga dalam kesadaran kegaduhan terdengar dari kejauhan di batas desa.
Lemparan batu terdengar kencang memecahkan kesepian malam di kampung
terpencil di perbatasan dua kota, teriakan orang begitu gaduh seperti
memburu hendak menghabisi kami. Meski sebentar namun suasana mencekam
begitu kental terasa setelahnya. Polisi ada disana namun banyaknya massa
yang datang tak cukup untuk aparat berseragam bertindak lebih
melindungi kami. Karunia Tuhan atas doa kami yang melindungi kami saat
itu, tak ada korban jiwa dari kedua pihak baik yang menyerang maupun
yang diserang. Massa berlalu sambil merusak bangunan dan kendaraan yang
ada di kanan kiri jalan kecil menanjak menuju lokasi kami berkumpul.
Masjid kami di kampung lain rusak di bagian kaca, ada
bercak darah yang berasal dari mereka yang melakukan pengrusakan siapa
mereka kami tak tahu. Mereka datang dari luar kota kebanyakan datang
berkonvoi kendaraan roda dua. Sebagian dari mereka menggunakan tutup
muka, membawa pemukul seperti hendak ke medan perang laga.
Ada beberapa opini yang menyeruak alasan akan
peristiwa itu, perdebatan di media selalu saja terjadi tak sedikit yang
menyalahkan namun ada pula yang membela hak-hak kami sebagai warga
negara.
Itulah sekelumit kenanganku akan jalsah salanah, mata
ini menjadi saksi akan semuanya. Hati ini merasakan pergolakan yang
timbul namun kebijakanku mengajarkan akan arti ketawakalan yang harus
diperagakan.
Ada pepatah tak mengenal maka tak sayang mungkin
tepat kiranya bila hal itu ditujukan bagi mereka yang datang pada malam
itu atau tahun 2005 saat tragedi pertama itu terjadi. Ada banyak
desas-desus dan isu tak benar tentang kami dan apa yang kami adakan.
Bagi kami Jalsah adalah pertemuan silaturahmi tahunan
biasa yang tak lebih dari itu, fondasinya telah diajarkan pendiri
Jemaat kami untuk memupuk dan meningkatkan keruhanian kami. Di masa awal
kehidupan Imam Mahdi pendiri Jemaat Jalsah diadakan pertama kali
dihadiri 75 orang sahabat di Qadian India, kini kegiatan itu rutin
diadakan. Puluhan ribu kini datang sebagai tamunya menghadiri pertemuan
ruhani selama 3 hari untuk mendapatkan bukan hanya khazanah pengetahuan
ruhani namun juga pengetahuan duniawi yang tak jauh dari ruang lingkup
nilai Islami. Pertemuan yang dimana pendiri Jemaat kami memerintahkan
agar mempergunakannya untuk saling mengenal dengan sesama anggota
lainnya, serta memperbanyak menyebut nama Allah larut dalam zikir
Illahi.
Pertemuan itu tak lain dan tak bukan hanya
diperuntukan untuk menyanjung kebesaran Tuhan dan memuji kemulian
Rasul-Nya, Nabi besar Muhammad SAW. Untuk menjadi salah satu sarana kami
menyebarkan Islam ke pelosok dunia, untuk menegakan panji dan ajaran
Rasul kami tercinta Rasulullah SAW.
Jalsah bagiku menguatkan keberadaanku dalam Jemaat-Nya
meneguhkan jalanku untuk mengkhidmati Islam melalui Jemaat-Nya yang
ditanam oleh utusan-Nya di akhir zaman, yang benihnya berasal dari Tuhan
sendiri.
Jalsah bagiku telah menyelamatkanku dari kehidupan
duniawi memperkenalkanku pada khazanah samawi, inilah yang diajarkanku
oleh bapakku tanpa ia berkata-kata atau menggurui. Hanya satu dapat
kuberkata; Terima kasih teruntuk bapakku semoga Allah memberi ganjaran
akan segala kebaikanmu pada anakmu ini, semoga Allah melimpahkan karunia
kepada kita senantiasa dan selalu menempatkan kita di dalam Jemaat-Nya
ini, Aamiin.
Sumber http://rajapena.org/jalsah-sebuah-catatan-penuh-kenangan/